Sabtu, 06 Oktober 2012

Pura Kebo Edan


Pura Kebo Edan
Oleh dewa gede eka wiadnyana
Pulau Bali sebagai pusat agama Hindu di Indonesia, menyimpan banyak peninggalan-peninggalan sejarah. Salah satu peninggalan bersejarah yang banyak ditemukan di pulau Bali adalah pura. Salah satu pura yang menyimpan peninggalan bersejarah dalam perkembangan kerajaan Hindu di Indonesia adalah Pura Kebo Edan yang terdapat di desa Pejeng. Pura Kebo Edan merupakan sebuah pura yang menyimpan tinggalan arkeologi yang unik dan khas. Salah satu keunikan dari pura ini adalah adanya sebuah arca Siwa Bhirawa yang cukup besar yang menggambarkan Dewa Siwa sedang berdiri diatas mayat. Untuk itu sangat menarik untuk kita kaji lebih mendalam mengenai keberadaan pura ini beserta peninggalan-peninggalan bersejarah lainnya yang terdapat di dalamnya.


A. LETAK DAN LINGKUNGAN
            Secara administratif Pura Kebo Edan berada di wilayah Dusun Intarab, Desa Pejeng, Kecamatan Tampaksiring, Kabupaten Gianyar, Bali. Pura ini berada di ruas jalan utama jurusan Gianyar-Kintamani. Dari kota Gianyar berjarak ±5 km sedangkan dari kota Denpasar berjarak ±20 km. Pura ini juga berdekatan dengan Untuk menuju ke pura ini bisa di tempuh dengan kendaraan umum. Lingkungan sekitar pura terdiri atas areal persawahan dan pemukiman penduduk Desa Pejeng. Dibagian Selatan dan Barat Komplek Pura Kebo edan terdapat selokan (saluran air sawah) dan persawahan subak Bedulu. Di bagian utara pura terdapat areal persawahan subak pegending. Bagian timur dibatasi oleh jalan raya (jalan aspal) dan perumahan penduduk. Dari jalan raya kita dapat menjangkau pura dengan berjalan kaki ±50 m kearah barat, maka akan tiba dipelataran Pura Kebo Edan.

            Secara Geografis Pura Kebo Edan dikelilingi oleh pura-pura kuna lainnya seperti Pura Pusering Jagat di utara, Pura Penataran Sasih ditimur laut dan Pura Arjuna diselatan yang memberi bukti bahwa situs Pura Kebo Edan memiliki nilai historis yang penting. Memperhatikan keadaan diatas dapat dikatakan bahwa sejarah Pura Kebo Edan nampaknya tidak dapat dipisahkan dengan pura-pura yang ada disekitarnya
.
Arca Siwa Bhairawa di Pura Kebo Edan
B. SEJARAH PURA KEBO EDAN
            Nama Pura Kebo Edan secara etimologi berasal dari kata kebo = sapi / kerbau dan kata edan = gila. Penamaan pura ini kemungkinan besar diambil dari sepasang arca-arca kerbau di halaman pura. Dua arca Kerbau itu dilukiskan melihat kearah arca Siwa Bhairawa yang sedang melakukan praktek ajaran Bhairawa. Dalam perkembangannya untuk mengungkap keberadaan Pura Kebo Edan dari bahan tertulis baik prasasti maupun purana yang memuat keberadaan pura ini belum di temukan. Walaupun demikian dengan adanya sejumlah peninggalan purbakala berupa arca-arca di Pura Kebo Edan ini merupakan suatu sumber otentik yang amat berguna. Dengan adanya arca-arca ini pula para arkelog dapat memberikan sedikit penggambaran tentang pura ini. Menurut data inventarisasi pada tahun 2002 dengan nomor inventaris Pura Kebo Edan 2/14-04/TB/11 dari Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala terdapat kurang lebih 55 buah arca yang berada di beberapa buah pelinggih di pura ini.

            Pura Kebo Edan adalah salah satu pura sebagai bukti bahwa ajaran Hindu Tantrayana berkembang di Bali. Ajaran Hindu Tantrayana ini berkembang pesat di Bali saat raja Kertanegara dari kerajaan Singhasari melakukan ekspedisi dalam rangka memperluas kekuasaannya dari Sumatera hingga ke Bali. Raja Kertanegara adalah seorang raja yang menganut paham tantrayana dengan mentasbihkan dirinya sebagai Bhairawa. Kertanegara berhasil menaklukkan Bali pada tahun 1284 M. Di sana Kertanegara mengangkat seseorang bernama Kebo Parud dengan jabatan patih di Bali untuk di jadikan wakil kekuasaannya di Bali. Hal ini diketahui dari prasasti yang dikeluarkan patih Kebo Parud berangka tahun 1218 Saka (1296 M) yang berkaitan dengan persoalan desa Kedisan. Prasasti lainnya adalah prasasti dengan angka tahun 1222 Saka (1300 M) yang menguraikan tentang desa Sukawana yang terletak di perbatasan Min Balingkang.

Arca-arca di Pura Kebo Edan

C. ARCA-ARCA DI PURA KEBO EDAN
            Didalam Pura Kebo Edan terdapat beberapa arca-arca bersejarah baik yang berukuran kecil maupun yang berukuran besar. Adapun beberapa buah arca yang ada di Pura Kebo Edan diantaranya yaitu :
 Arca Dewa Ganesa
 Arca Perwujudan
 Arca Siw aBhairawa
 Arca Nandi
 Arca Pendukung Tiang (ArcaGana)
 Arca Gajah
 Fragmen Arca Raksasa
Fragmen Kepala Binatang
Di antara arca-arca kuna yang terdapat di Pura Kebo Edan terdapat sebuah arca raksasa berukuran tinggi kurang lebih 360 cm. Arca tersebut oleh warga sekitar disebut arca Siwa Bhairawa yang menggambarkan Dewa Siwa dalam keadaan marah. Rambut arca ikal berombak menunjukkan sifat keraksaan. Mukanya memakai kedok muka atau tapel, dapat dilihat dari adanya pita pengikat di belakang kepalanya yang menegaskan bahwa muka yang tampak adalah sebuah kedok atau tapel. Bentuk badan arca tegap berdiri diatas mayat manusia dengan kepala miring dan mata terbuka sedangkan kedua kaki arca terletak berjauhan dalam sikap menanjak. Pergelangan kaki dan tangan dibelit ular. Sedangkan kemaluannya dilukiskan berayun-ayun dan mencuat kearah kiri yang mengakibatkan kainnya tersingkap. Pada bagian belakang kepala
kemaluannya terdapat empat bulatan.

Arca Siwa Bhairawa
Boleh jadi arca-arca besar yang disimpan di dalam Pura Kebo Edan di Pejeng bersasal dari zaman kerajaan Astasura. Stutterheim mengatakan bahwa arca-arca itu berasal dari abad 8. Rupa-rupanya raja Astasura ini melakukan bhairawa-marga sepertai halnya raja Kertanegara dari Singhasari. Raja Sri Astasura Ratna Bumi Banten memerintah Bali pada tahun 1259 Saka (1337 M). Astasura Ratna Bumi Banten adalah raja Bali terakhir yang merdeka. Enam tahun sesudah tarikh prasasti Patapan Langgaran, Gajah Mada berhasil menaklukkan Bali pada tahun 1265 Saka (1343). Raja Astasura dengan gigihnya berusaha supaya Bali tetap merdeka sehingga dia disebut sebagai manikam Pulau Bali (ratna bumi banten). Akan tetapi pada tahun 1260 Saka (1338 M) suasana di Bali sudah goyah dan persatuan terganggu sehingga Bali tidak bisa di pertahankan lagi.

            Selain arca Siwa Bhairawa di Pura Kebo Edan terdapat pula arca-arca yang cukup besar lainnya. Arca tersebut ditempatkan pada bangunan kecil di muka sebelah kanan arca Siwa Bahirawa. Salah satunya lagi di bangunan sebelah kirinya. Kedua arca raksasa masing-masing tangannya membawa mangkuk-mangkuk darah yang di hiasi dengan hiasan tengkorak. Arca-arca tersebut dalam sikap berdiri, roman mukanya sangat menakutkan dengan mata melotot. Seluruh kepala dan lehernya dilingkari dengan rangkaian terngkorak sambil menghidap darah musuhnya dari mangkuk darah yang dibawanya. Telingannya juga memakai hiasan dari tengkorak. Masing-masing arca ini mempunyai ukuran yang sama.

            Pada masing-masing bangunan ini juga terdapat arca sepasang kerbau yang sedang dalam keadaan berjongkok dan menderum. Sikap ini menunjukkan sikap marah atau pun garang sehingga kemungkinan karena itulah penduduk menyebutnya sebagai Kebo Edan. Arca kerbau jantan diletakkan pada sisi kanan dari arca Siwa Bahirawa sedangkan arca kerbau betina ditempatkan pada sisi sebelah kiri.

Arca di Pura Kebo Edan

            Pada bangunan pelinggih Ratu Pinatih terdapat sebuah arca yang bagaian bawahnya tertanam di tanah. Roman muka arca tampak garang dengan mata melotot, kepala dan lehernya dihiasi dengan tengkorak. Rambut ikal disanggul ikat pinggang dan anting-antingnya memakai hiasan tengkorak pula. Sebuah fragmen arca yang berukuran cukup besar juga diletakkan disini. Fragmen ini merupakan bagian dari sebuah arca yaitu bagian dada ke atas hingga kepala. Roman mukanya tidak jelas karena sudah rusak. Rambutnya ikal dan telinga kanannya memakai anting-anting tengkorak.

Pura Pusering Jagat


Pura Pusering Jagat
Posted on 7 oktober 2012 oleh dode arkeo 2011

Lokasi
Pura Pusering Jagat terletak di desa Pejeng, Kecamatan Tampak Siring, Kabupaten Gianyar. Jaraknya dari kota Denpasar kurang lebih 26 km, sedangkan dari ibu kota kabupaten kurang lebih 6 km. Pura terletak di sebelah barat jalan raya jurusan Tampaksiring dan tempatnya menghadap ke barat sehingga untuk mencapainya melalui jalan kecil di sebelah utara pura. Di sebelah selatannya terdapat Pura Kebo Edan dan agak ke utara sedikit terdapat Pura Penataran Sasih yang terkenal dengan peninggalan purbakala yang bernama “nekara perunggu” dimana oleh masyarakat setempat sering disebut bulan yang jatuh dari langit.

Secara etimologis kata Pusering Jagat berarti, puser = pusat dan ing menunjukkantempat, sedangkan kata jagat berarti dunia atau bumi. Arti selengkapnya adalahtempat pusatnya dunia. Pemberian nama seperti tersebut di atas sesuai dengan nama palinggih yang diketemukan pada pura tersebut yaitu “Gedong Purus”. Dalam gedong ini ditemukan dua jenis peninggalan phallus dan bentuk vulva yaitu simbolis kemaluan laki-laki dan perempuan. Pertemuan antara kedua unsur tersebut akan dapat menciptakan sesuatu ciptaan di dunia ini. Di Bali unsur laki-laki ini disebut purusa dan unsur perempuan disebut predhana.

Sejarah Pura
Kiranya cukup sulit untuk menentukan sejarah berdirinya Pura Pusering Jagat secara pasti mengingat tidak tersimpannya “purana” atau “prasasti” pada pura ini. Berdasarkan analisa perbandingan dengan peninggalan-peninggalan purbakala yang terdapat di lain pura dan sumber tradisional lontar maka dapatlah diduga sejarah pendiriannya pura ini.
Menurut dugaan sementara Pura Puser Tasik adalah identik dengan Pusering Jagat yang ada sekarang dan terletak di desa Pejeng. Menurut para ahli dan para sulinggih dikatakan bahwa Lontar Kusumadewa dibuat oleh Mpu Kuturan yang hidup pada jaman pemerintahan Prabu Airlangga di Jawa Timur 1019-1042 M dan kemudian beralih ke Bali atas permintaan Raja Udayana, guna menertibkan kehidupan keagamaan dan tata kemasyarakatan di Bali. Pada jaman Bali Kuna ada dugaan pusat pemerintahan terletak di sekitar Desa Bedaulu dan Pejeng, karena itu tidak mengherankan apabila di pejeng dibangun pura pusat kerajaan. Kemudian pada jaman Dinasti Sri Kresna Kepakisan pusat pemerintahan berpindah ke Samprangan. Apabila perkiraan ini benar maka pertengahan abad ke-11 Pura Pusering Jagat sudah didirikan sebagai pusat Kerajaan yang terletak di Pejeng.
Sebagai sumber yang kedua adalah penemuan angka tahun candrasangkala pada Sangku Sudamala dalam bentuk kronogram sebagai berikut :
§  gambar bulan sabit (bernilai 1)
§  sebuah mata (bernilai 2)
§  panah (bernilai 5)
§  dan manusia (bernilai 1)
Dengan demikian kronogram ini melukiskan angka tahun saka 1251 (1329 M). Yang memerintah pada tahun ini di Bali adalah Raja Sri Astasuraratnabhumibanten. Kemungkinan pada masa pemerintahan Sri Astasura, Pura ini masih tetap mendapat perhatian raja dan diperluas dengan beberapa bangunan suci. Akhirnya 14 tahun kemudian datanglah ekspedisi militer Majapahit dibawah pimpinan Gajah Mada dan berakhirlah riwayat kerajaan Bali Kuna

Peninggalan Purbakala
Pura ini tergolong cagar budaya yang penting karena di dalamnya banyak tersimpan peninggalan purbakala yang tergolong masa sejarah (historic archaelogy). Beberapa peninggalan tersebut adalah berupa : pahatan phallus dan vagina, sangku sudamala dan arca caturkaya. Penjelasan masing-masing peninggalan tersebut, adalah sebagai berikut :

Pahatan phallus
Pahatan ini tersimpan pada sebuah palinggih (bangunan suci) yang bernama : Gedong Purus atau Gedong Kemaluan. Pahatan ini melukiskan dua jenis kemaluan yakni kemaluan laki-laki dan kemaluan perempuan. Kedua pahatan ini tidak lain adalah lingga dan yoni hanya perwujudannya lebih bersifat naturalis. Di dalam filsafat kedua wujud tersebut disebut dengan nama purusa (laki-laki) dan predhana (perempuan).
http://sudiatmika.com/wp-content/uploads/2012/04/Pusering-Jagat4.jpg
Pahatan sangku sudamala
Perkataan sangku sudamala mengandung arti sangku artinya tempat tirta (air suci),suda berarti penyucian dan mala berarti kotoran. Arti lengkapnya adalah tempat air suci yang menyucikan dari kotoran. Yang dimaksud dengan kotoran disini adalah kotoran dalam arti spiritual seperti : rasa dengki, iri hati, loba, marah dan lain-lainnya.




Arca Catur Muka
Perkataan catur muka berarti catur = empat dan muka = muka. Arti lengkapnya adalah arca dengan empat muka. Tempat penyimpanan arca ini disebut GedongAgung Catur Muka. Menurut ilmu seni arca dijelaskan bahwa arca yang bermuka empat disebut arca Brahma. Pada gedong ini juga terdapat peninggalan purbakala lainnya seperti arca Ganesa, arca perwujudan dan lain-lain.
http://sudiatmika.com/wp-content/uploads/2012/04/Pusering-Jagat5.jpg
Demikian paparan tentang Pura Pusering Jagat yang ada di Kabupaten Gianyar. Jika ada yang salah dalam penulisan nama, kami mohon maaf yang sebesar-besarnya. Bila ada masukan, kami tunggu masukannya…

Pura Penataran Sasih


Oleh dode arkeo 2011

Pura Penataran Sasih terletak di Banjar Intaran, Desa Pejeng, Kecamatan Tampaksiring, Kabupaten Pejeng. Pura ini memiliki sejarah yang panjang.Di pura ini menyimpan mitos.Salah satunya tentangBulan Pejeng. Nekara perunggu terbesar yang berada di Pura Penataran Sasih ini berukuran 186,5 cm dan dengan garis tengah 160 cm. Nekara tersebut dianggap sangat suci dan dipuja penduduk. Nekara tersebut di letakkan di sebuah pelinggih yang di sebut Ratu Sasih. Orang-orang mempunyai kepercayaan bahwa nekara ini adalah bagian bulan yang jatuh dari langit.4 Sehingga Pura Penataran Sasih berasal dari nama bulan (sasih=bulan). Nekara ini dimungkinkan sebagai sarana upacara untuk memohon hujan agar hutan-hutan menjadi rindang, menumbuhkan tanaman bahan makanan dan obat-obatan, sungai mengalirkan air yang jernih, dan adanya bulan bersinar sejuk merupakan panorama alam yang indah dan memukau.

Sumber-sumber tradisional menyebut, benda ini adalah bulan yang dahulu kala jatuh dari langit, yang membuat Desa Pejeng menjadi terang-benderang sepanjang hari, sehingga para pencuri tidak dapat beraksi. Para pencuri jadi marah, lalu bulan itu dikencingnya, sehingga tidak bersinar lagi sampai sekarang. Sementara itu, ada yang menceritakan bahwa Bulan Pejeng adalah subang Kebo Iwa, seorang tokoh legendaris yang dengan segala kesaktiannya dapat memahat sejumlah kekunaan seperti candi tebing Gunung Kawi di Tampaksiring. Dari beberapa referensi dan sumber yang ada menyebutkan bahwa Pura Penataran Sasih merupakan pura tertua yang merupakan pusat kerajaan pada zaman Bali Kuno. Seorang arkeologi, R. Goris dalam buku “Keadaan Pura-Pura di Bali” menyebutkan bahwa pusat kerajaan pada zaman Bali Kuno terletak di Bedulu, Pejeng.

            Pura Penataran Sasih merupakan pura penataran sekaligus sebagai pemujaan awal terjadinya kehidupan di dunia. Sedangkan menurut ahli ilmu purbakala, Von Heine Geldern yang dikutip oleh Prof. I Gst. Gede Ardana dalam bukunya “Penuntun ke Obyek-obyek Purbakala” menyatakan bahwa nekara tersebut merupakan hasil Kebudayaan Dongson dari Vietnam Utara. Maka di duga Pura Penataran Sasih telah ada sejak jauh sebelum Hindu masuk ke Bali. Karena kebudayaan Dongson ada pada tahun 300 SM. Sementara itu adanya Hindu masuk ke Bali diperkirakan sekitar abad ke-8. Ini artinya tempat pemujaan yang bernama Pura Penataran Sasih ini sudah ada sebelum datangnya pengaruh Hindu ke Bali. Setelah adanya pengaruh Hindu di Bali, barulah Pura Penataran Sasih ini diperluas secara bertahap menurut konsep pemujaan Hindu oleh penguasa dan masyarakat Bali yang beragama Hindu pada saat itu. Sekali lagi bahwa nekara tersebut difungsikan sebagai sarana pemujaan agar alam menjatuhkan hujan menurut musimnya.



            Nekara yang ada di Pura Penataran Sasih ini mengandung nilai simbolis magis yang tinggi. Pada nekara tersebut terdapat hiasan kedok muka yang disusun sepasang-sepasang dengan mata bulat membelalak, telinganya yang panjang, dengan anting-antingnya yang dibuat dari uang kepeng, dan hidungnya yang berbentuk segitiga. Bulan Pejeng ini dianggap sebagai subagnya Kebo Iwa. Nekara perunggu ini adalah hasil teknologi logam yang mencapai puncaknya pada akhir zaman prasejarah, yaitu pada masa perundagian, sekitar 2000 tahun silam. Jauh sebelum pengaruh Hindu masuk di Bali.Para ahli arkeologi berpendapat, hiasan kedok muka ini berfungsi simbolis magis atau religius magis, yaitu sebagai lambang leluhur yang arwahnya berdiam di puncak gunung atau bukit dan mempunyai kekuatan magis yang dapat menentukan nasib kaum kerabat atau masyarakat yang ditinggalkannya.

            Hiasan kedok muka seperti itu juga terdapat pula pada sarkofagus (peti mayat) yang tersebar di seluruh Bali, dengan berbagai gaya dan mempunyai fungsi yang sama dengan kedok muka pada “Bulan Pejeng”. Mungkin juga hiasan ini mempunyai fungsi estetik dekoratif. Selain itu ada juga sarkofagus Bali yang memakai hiasan berbentuk geometris, yaitu bundar (agak bulat) dan persegi yang mungkin digunakan untuk mengikat tali pada saat peti mayat di turunkan ke liang kubur. Di sebuah pura di Desa Manuaba ditemukan lima buah fragmen cetakan batu untuk nekara tipe Pejeng, maka timbul dugaan bahwa nekara Pejeng adalah hasil industri logam lokal yang telah maju. Perkiraan ini di dukung kenyataan bahwa cetakan batu dari Manuaba memakai hiasan kedok muka yang memperlihatkan persamaan dengan kedok muka pada nekara Pejeng, walaupun mempunyai ukuran yang lebih kecil.

            Nekara yang ada di Pura Penataran Sasih ini sebagai gendrang upacara yang dipukul dengan aturan religius sebagai sarana pemujaan agar hujan jatuh pada musimnya yang tepat. Kesimpulan tersebut diambil berdasarkan hiasan nekara dengan adanya binatang dan matahari dengan delapan sinar. Di samping itu hiasan nekara ada motif lajur-lajur lingkaran terpusat. Pada badan nekara terdapat gambar delapan kepala orang menghadap ke delapan arah. Karena dalam kitab suci agama Hindu pun keberadaan hujan sebagai sumber alam yang paling utama.

            Dalam perkembangan selanjutnya, A.J. Bernet Kempers menyatakan bahwa Pura Penataran Sasih ini menjadi pura penataran sabagai pusat kerajaan di Bali yang berstana di Pejeng. Sedangkan sebagai pusat pura gunungnya adalah Pura Puncak Penulisan di Kintamani. Dalam agama Hindu diharapkan adanya perpaduan antara unsur kejiwaan yang disebut Purusa dengan unsur kebendaan yang disebut Pradana. Dua unsur yang berpadu itu akan mendatangkan kesuburan dan kemakmuran. Di Pura Penataran Sasih ini terdapat beberapa peninggalan purbakala, baik yang berasal dari tahun 300 SM maupun abad X Masehi dan pada abad XIV Masehi. Nekara yang biasa disebut Bulan Pejeng oleh masyarakat setempat ini merupakan peninggalan pada tahun 300 SM. Sedangkan berdasar pecahan prasasti yang dapaat di jumpai di pura ini menunjukan bahwa prasasti tersebut sudah ada sejak abad X Masehi. Hal tersebut dapat dilihat berdasarkan Huruf Kawi dan Bahasa Sansekerta yang digunakan oleh prasasti tersebut.

            Di Pura Penataran Sasih juga terdapat pula arca Batara Guru yang disimpan di sebuah pelinggih gedong dengan dua pintu. Pada ruang sebelah utara distanakan dua arca perwujudan sebagai stana Batara Guru. Salah satu arcanya menggunakan candrasengkala yang berbunyi “Krta rasa tinggaling wong”. Candrasengkala tersebut menunjukan angka tahun Saka 1264 atau 1343 Masehi. Pada tahun itu datang serangan dari Gajah Mada ke Bali. Sedangkan di ruang selatan terdapat dua buah arca perwujudan sebagai stana Batara Iswara. Selain itu ada juga arca Catur Kaya yaitu arca dengan empat muka menghadap ke semua arah. Arca ini menggunakan atribut Tri Netra lambang Siwa. Salah satu tangannya membawa Pustaka atribut Dewa Wisnu. Arca Catur Kaya ini melambangkan Dewa Tri Murti.

            Pura Penataran Sasih sendiri terdiri atas lima palebaan, meliputi Pura Penataran Sasih sebagai pura induk. Bagian utara terdapat Pura Taman Sari, Pura Ratu Pasek, dan Pura Bale Agung. Sedangkan untuk bagian selatan terdapat Pura Ibu. Untuk areal Pura Penataran Sasih terutama di jeroan terdapat beberapa pelinggih. Dari pintu masuk, pada sisi jaba tengah terdapat bangunan Padma Kurung sebagai tempat penyimpenan Sang Hyang Jaran. Deretan bagian timur terdapat bangunan pengaruman yang biasanya difungsikan sebagai tempat menstanakan simbol-simbol Ida Batara dari Pura Kahyangan Tiga di seluruh Pejeng.

 
            Di Pura Penataran Sasih terdapat beberapa pelinggih pesimpangan yaitu di pojok paling timur laut terdapat pelinggih Trenggana. Di sebelah selatannya agak ke barat terdapat Padmasana. Di selatan Padmasana inilah ditempatkan Gedong Pelinggih Ratu Penataran Sasih. Di selatannya ada bangunan balai pesamuan. Di selatannya lagi ada Gedong Swara. Di deretan tembok di selatannya terdapat pelinggih Gedong Pesimpangan Batara Brahma. Ada pula Pelinggih Pesimpangan Batara Gana, Batara Wisnu dan Batara Mahadewa. Di barat pesimpangan Batara Brahma terdapat pelinggih yang disebut Bale Paselang. Di Bale Paselang inilah tempat melangsungkan upacara Padanaan atau upacara Mapeselang. Upacara ini melambangkan bertemu baktinya umat dengan waranugraha atau swecan Ida Batara. Upacara ini umumnya dilangsungkan sebagai puncak upacara pujawali. Upacara piodalan atau pujawali Ida Batara diPura Penataran Sasih dilangsungkan pada Hari Manis Kuningan. Untuk piodalan di Pura Penataran Sasih terbagi dalam dua bagian. Tiap 210 hari tepatnya Redite Umanis, wuku Langkir berlangsung upacara yang bernama upacara panyelah yang berlangsung selama tiga hari. Sedangkan untuk karya agung berlangsung pada purnana kesanga, nemu pasha.

            Di samping nekara perunggu, di Pura Penataran Sasih juga terdapat peninggalan berupa pecahan prasasti yang ditulis pada batu padas. Tulisan menggunakan bahasa Kawi dan Sansekerta sehingga tidak bisa dibaca karena termakan usia. Namun, dari hasil penelitian yang dilakukan ada kemungkinan bahwa pecahan prasasti tersebut berasal dari abad ke 9 atau permulaan abad ke 10. Di Pura Penataran Sasih juga tersimpan pula beberapa peninggalan pada masa Hindu masuk ke Bali. Misalnya prasasti dari batu yang berlokasi di bagian dalam di bagian selatan. Prasasti tersebut berkarakter huruf dari abad ke 10. Di bagian luar pura, di sebelah tenggara ada fragmen atau bekas bangunan memuat prasasti beraksara kediri kwadrat (segi empat) yang menyebutkan Parad Sang Hyang Dharma yang artinya bangunan suci.

            Di samping sebagai pura yang menyimpan benda-benda purbakala, Pura Penataran Sasih juga terkenal dengan tarian sakralnya yakni tarian Sang Hyang Jaran. Tarian tersebut dipentaskan bilamana di Pura Penataran Sasihdiselenggarakan upacara besar seperti upacara ngenteg linggih dan caru balik sumpah. Tarian ini biasanya dibawakan oleh empat orang penari. Bahkan untuk penarinya ini bukanlah orang sembarangan. Untuk penari biasanya akan hadir beberapa waktu sebelum tarian tersebut dipentaskan. Kehadirannya tersebut terjadi secara mendadak atas petunjuk sesuhunan. Orang tersebut akan tiba-tiba karauhan (kesurupan). Orang yang karauhan tersebut bisa saja warga dari luar daerah Pejeng. Pura Penataran Sasih ini pernah mengalami kerusakan pada ahun 1963 akibat meletusnya Gunung Agung. Oleh karena itu, maka pura tersebut mengalami pemugaran pada tahun 1966 yang ditandai dengan adanya suatu kronogram dengan simbol matahari dan gajah mengapit naga. Kronogram ini menandakan angka tahun saka 1888 atau tahun 1966 Masehi.


A. SEJARAH BULAN PEJENG
Bulan Pejeng adalah sebuah genderang (nekara) perunggu yang dipercayai orang Bali memiliki kekuatan supranatural. Nekara ini terletak di Pura Penataran Sasih di Desa Pejeng, Tampak Siring, Gianyar di Pulau Bali. Genderang ini dianggap suci dan diceritakan bahwa genderang ini tidak dibuat oleh manusia melainkan jatuh dari langit. Nekara ini diperkirakan dipergunakan dahulunya dalam upacara meminta hujan. Banyak legenda tentang nekara ini, salah satunya adalah bahwa nekara ini dahulu merupakan roda dari kereta langit yang menyebarkan sinar terang, sehingga dahulu pada malam hari selalu terang benderang. Legenda lain mengatakan bahwa nekara ini adalah perhiasan telinga dari Dewi Ratih (Dewi Bulan dalam mitologi Bali).10 Menurut penuturan kuno diceritakan juga bahwa dahulu kala ada 13 bulan di atas bumi.Pada suatu hari salah satu bulan ini jatuh ke atas bumi dan tersangkut di ranting pohon. Sinar yang dipancarkan
bulan ini sangatlah terang sehingga tidak ada pencuri yang berani mencuri di malam hari. Namun pada suatu ketika para pencuri itu berunding dan mereka bersepakat untuk memadamkan bulan itu, salah satu dari mereka memanjat pohon itu dan dengan air kecilnya ia berusaha memadamkan bulan tersebut yang diliputi lidah-lidah api. Seketika juga bulan itu meledak dan salah satu pecahan bulan itu menjadi nekara bulan Pejeng tersebut. Kerusakan yang ada di balik nekara itu diceritakan berasal dari ledakan itu.